Saturday, November 19, 2011

Masalah Hukum Berkaitan Dengan Ilmu Komunikasi

Dalam konteks komunikasi, dikenal komunikasi massa, kelompok, organisasi dan interpersonal. Selama ini konteks komunikasi yang menjadi kritikal point ranah hukum adalah komunikasi massa sehingga muncul kajian ranah hukum komunikasi massa, Undang-undang  Pers dan Undang-undang Pornografi. Semuanya memiliki kekentalan wilayah kajian komunikasi massa. Selama ini, konteks komunikasi interpersonal atau komunikasi pribadi lewat media belum menjadi daya tarik para ahli komunikasi juga hukum sebagai ranah kajian bersama.
Mengenai masalah yang dialami Ibu Prita, sebenarnya e-mail hakekatnya adalah media perorangan bahkan kelompok untuk membicarakan atau menyampaikan pesan tertentu. Klasifikasi kontekstual e-mail adalah komunikasi interpersonal, kelompok, dan organisasi.
Di samping itu sebagian besar orang menggunakan e-mail atau milis adalah untuk menyebarkan pesan yang sifatnya pribadi, mulai dari gosip, rumor, silaturahmi, sampai curhat yang bisa dibaca oleh kawan. Secara tidak disadari, karena e-mail itu terdokumentasikan dan tersimpan, maka akibatnya mudah dijadikan dasar sebagai bukti pelanggaran hukum manakala menyinggung perasaan orang lain.
Di lain pihak, peraturan (perundang-undangan) menyangkut teknologi informasi telah ditetapkan dan berlaku efektif pada 2010. Hal ini patut disyukuri bahwa Indonesia termasuk yang tanggap terhadap peraturan yang menyangkut kejahatan komunikasi elektronik. Hal ini akan menjadi pijakan yang kuat untuk menyelesaikan perkara hukum yang sebelumnya tidak memiliki instrumen tentang aturan komunikasi elektronik.
Namun masalahnya masyarakat tidak mengetahui isi dan ancaman hukum di dalamnya. Pasal demi pasal yang menjelaskan tentang jenis dan pelanggaran yang dapat menimbulkan masalah hukum, asing  bagi mereka. Masyarakat menganggap komunikasi melalui e-mail, seperti obrolan keluh kesah lewat tatap muka dengan tetangga.
Tidak terlalu banyak orang mendengar atau melihat. Persepsi kita, komunikasi lewat e-mail tidak ubahnya obrolan, gunjingan, bisikan atau curhat dimana tidak banyak orang memperdulikannya. Ketika obrolan selesai maka selesai juga event komunikasi dan pengaruhnya.
Seperti kasus Ibu Prita, yang bersangkutan tidak pernah menyangka bahwa apa yang disampaikan pada rekan terdekatnya bisa dibaca orang lain dan berubah menjadi release tentang buruknya citra pelayanan sebuah lembaga. Hal itu terjadi di luar perkiraan yang bersangkutan, seperti halnya sebagian besar masyarakat.
Terlepas dari caci maki kita atas inferiornya pasien dan superiornya lembaga pelayanan kesehatan dengan orang-orangnya (dokter), kita tidak pernah tahu bahwa caci maki kita jika dilempar kepada media dan terdokumentasikan, maka bisa menimbulkan aduan hukum. Orang yang tersinggung akan lebih mudah membuktikan tindakan yang menyebabkan munculnya aduan hukum.
Kondisi ini tentu menjadi tugas penegak hukum dan pemerintah untuk lebih mensosialisasikan setiap produk aturan agar diketahui oleh masyarakat. Padahal dilain pihak seringkali muncul kasus di mana peraturan di buat hanya sekedar peraturan. Bahkan tidak terlepas dari kepentingan mendapatkan reward dari pembuatan produk itu sendiri bagi si pembuat aturan.
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Diakui atau tidak, penegakan hukum di Indonesia masih didominasi oleh hegemoni pandangan yang positivistik yang dalam hal tertentu memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga muncul kasus Prita, Nenek Minah dsb.
Hal ini membangun kesan bahwa penegak hukum hanya memandang undang-undang sebagai satu-satunya dasar berfikir hukum, kurang mengakomodasi kehendak publik, menegakkan hukum tanpa melihat efek dari bekerjanya hukum, menegakkan hukum tanpa melihat tujuan hukum yang ingin dicapai, seolah-olah hukum bekerja di ruang hampa. Seakan-akan penegakan hukum sudah baik dan selesai ketika semua prosedur dan ritual hukum acara itu dijalankan sesuai dengan restu birokrasi secara berjenjang, padahal ini belum cukup. Ada logika lain yang harus menjadi roh dalam setiap kebijakan penegakan hukum.
Hukum media massa biasanya dijabarkan melalui pasal-pasal yang terdapat dalam UU. Pasal tersebut biasanya berkaitan dengan keberadaan organisasi media massa. Kendati begitu, organisasi media massa tidak bisa dikenakan tindakan hukum. Sebab, hanya person yang bisa dikenakan tindakan hukum. Dengan kata lain, kalau ada organisasi media massa yang dianggap melanggar pasal-pasal dalam UU, maka yang bisa dikenakan tindakan hukum adalah individu yang menjadi penanggungjawab media massa tersebut.

Kesimpulan
Sesungguhnya terdapat empat posisi media massa, yaitu sebagai media komunikasi, lembaga eknonomi, berita dan lembaga sosial. Posisi tersebut menentukan aktivitas, fungsi, tujuan, kewajiban dan muatan isinya. Bentuk media komunikasi bila dilihat dari aktifitasnya yaitu menyalurkan dari satu kumunikator ke komunikan.
Dalam posisinya sebagai lembaga sosial, media massa berinteraksi dengan lembaga sosial lain. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi lembaga lain. Dalam keadaan beginilah ia memiliki regulasi. Regulasi ini bisa saja berbentuk peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan undang-undang (UU). Regulasi yang berupa UU inilah yang kemudian disebut hukum media massa.
Bila dilihat lebih jauh, sebenarnya tujuan hukum media massa bisa dikelompokkan menjadi:
  • Untuk mengendalikan media massa. Dalam konteks ini, hukum media massa merupakan instrumen untuk membatasi media massa agar tidak melenceng dari keinginan, misalnya pemerintah. Pada titik inilah hukum media massa disebut memiliki karakter politik.
  • Untuk mengatur media massa agar berperilaku wajar sesuai dengan keinginan masyarakat. Agar media massa tidak merugikan masyarakat. Dalam konteks inilah hukum media massa disebut memiliki karakter sosial.
reverensi: hasil pencarian organik google

0 comments:

Post a Comment